NUZULUL QUR’AN DAN BUDAYA BACA

NUZULUL QUR’AN DAN BUDAYA BACA

Rhoni Rodin, S.Pd.I.,M.Hum

Dosen FUAD, Wakil Dekan I, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah

IAIN Curup

Setiap tanggal 17 Ramadhan, kita umat Islam selalu diingatkan pada satu peristiwa besar yang pernah terjadi dalam sejarah perkembangan Islam, yaitu peristiwa diturunkannya kitab suci al-Qur’an atau yang populer peristiwa Nuzulul Qur’an. Festival peringatan nuzulul qur’an ini dirayakan oleh seluruh lapisan masyarakat mulai dari perkampungan sampai ke istana. Dimana salah satu esensi nilai yang terkandung dalam peristiwa tersebut adalah perintah membaca. Membaca merupakan sesuatu perbuatan untuk memahami bentuk tulisan atau isyarat yang ada di tengah-tengah kita. Memperhatikan suatu  yang tertulis ataupun dicetak untuk dipahami isi kandungannya dikategorikan sebagai definisi membaca.

Jika kita melihat kondisi minat baca bangsa Indonesia tentunya cukup memprihatinkan, dimana Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat baca. Hal tersebut bisa dilihat berdasarkan studi “Most Littered Nation in the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada Maret 2016. Fakta ini didasarkan pada studi deskriptif dengan menguji sejumlah aspek. Antara lain perpustakaan, koran, input sistem pendidikan, output sistem pendidikan, dan ketersediaan komputer.

Triningsih (2017) dalam tulisannya menyatakan bahwa salah satu aspek yang penting dalam kehidupan umat manusia adalah membaca. Membaca merupakan syarat utama dalam membangun peradaban suatu bangsa, disamping ilmu pengetahuan dan teknologi. Peradaban Yunani dimulai dengan Iliad karya Homer pada abad ke-9 sebelum Masehi dan berakhir dengan Kitab Perjanjian Baru. Peradaban Eropa dimulai dengan karya Newton dan berakhir dengan filsafat Hegel. Begitu pun dengan peradaban Islam yang lahir dengan kehadiran Al-qur’an.

Nuzulul Qur’an dan Budaya Baca

Perintah membaca yang ada pada ayat pertama dan ketiga surat al-‘Alaq tidak hanya menghendaki membaca kalam Allah berupa al-Quran. Juga bukan hanya membaca kalimat yang tersusun dalam sebuah bacaan. Akan tetapi perintah membaca yang pertama kali diucapkan oleh malaikat Jibril pada Rasulullah mengandung pelajaran yang begitu mendalam. Secara filosofis, perintah tersebut mensiratkan bahwa dalam belajar apapun, hendak selalu didahului dengan membaca. Membaca tidak bisa lepas dari kegiatan belajar mengajar. Inilah yang kemudian menjadi percontohan bagi umat manusia, bahwa ilmu itu selalu diawali dengan mengenalinya terlebih dahulu yaitu melalui membaca. Dalam satu riwayat diterangkan bahwa setelah Nabi SAW diperintah oleh Jibril, beliau bertanya “Ma aqra’ ya jibril?” namun pertanyaan tersebut tidak dijawab oleh jibril. Allah SWT menghendaki beliau dan umatnya membaca apa saja. Membaca yang dilandasi dengan ‘bismi rabbika’ (atas nama Allah), sehingga membawa manfaat dan kemaslahatan serta terpilih pula bacaan mana yang baik dan mana yang tidak.

Para ulama berbeda pendapat tentang tujuan pengulangan kata iqra’ tersebut. Ada yang menyatakan bahwa perintah pertama ditujukan kepada Nabi Muhammad saw., sedang yang kedua pada umatnya, atau yang pertama untuk membaca dalam shalat, sedang yang kedua di luar shalat. Pendapat ketiga menyatakan Iqra yang pertama perintah belajar, sedang yang kedua Allah memerintahkan mengajar orang lain. Ada lagi yang menyatakan bahwa perintah berfungsi mengukuhkan guna menanamkan percaya diri kepada Nabi Muhammad tentang kemampuan beliau membaca karena beliau tadinya tidak pernah membaca, seperti jawaban Nabi ketika datang Jibril yang memerintah membaca sampai tiga kali, “saya tidak tahu/tidak dapat membaca” (lihat,  Tafsir Ibnu Katsir).

Surat al-‘Alaq yang diajarkan kepada Nabi Muhammad pada dasarnya merupakan konsep dasar  Islam tentang pembelajaran, yang dikenalkan melalui konsep baca dan tulis yang dianggap sebagai alat yang efektif untuk pendidikan. Dengan kedua instrumen inilah, menurut Sahal Mahfudh bahwa ayat Allah, baik yang tertulis (qauliyah) maupun yang tidak tertulis (kauniyah) dapat dibaca dan ditelaah oleh umat manusia.

Lebih lanjut menurut dai sejuta ummat almarhum KH. Zainuddin MZ., bahwa kalimat Iqra (baca) dibagi kepada dua bagian; pertama; Iqra yang yang tersirat, yaitu perintah Allah untuk membaca kauniyat alam jagat raya ini, langit, bumi, bulan, bintang, lautan yang terbentang luas dan segala planet yang lainnya. Dalam hal ini menurut beliau, ayat ini telah dibaca oleh orang-orang di luar Islam. Lihat, siapa yang pertama dan yang sudah menginjakan kakinya ke bulan dan planet lain. Perhatikan, siapa yang mengawali diving menerka alam laut yang paling dalam, ternyata orang Amerika, Eropa, orang Jepang. Dalam hal ini orang Islam sudah ketinggalan jauh di belakang dari sendi kemampuan membaca yang tersirat atau kauniyat.

Kedua; Iqra yang tersurat, yaitu membaca, meneliti, menelaah dan menghayat yang ditulis atau yang dicetak seperti al-Quran yang isinya tiga puluh juz dengan kandungan 114 surat, dengan jumlah ayat enam ribu ayat lebih. Lebihnya, berbeda pendapat di kalangan ulama, ada yang mengatakan 6214, ada pendapat lain 6219, ada juga yang mengatakan 6225 dan ada yang mengatakan 6236 (lihat, Tafsir al-bayan, al-Qurtubi 1/65, juga Muqadimah Tafsir Ibnu Katsir). Dan kalimatnya 77439 seperti yang disebutkan oleh Ata bin Yasir dalam Tafsir Ibnu Katsir.  Dan hurufnya mencapat 300.000 hurup, seperti yang dihikayatkan oleh Mujahid ( Muqadimah Tafsir Ibn katsir). Inilah yang Allah perintahkan kepada kita umat Islam dengan perintah-Nya membaca.  Selain itu, ribuan kitab Hadits Nabi dan beberapa syarahnya hendaknya kita semua membacanya. Tambahan jutaan buku dan milyaran artikel, makalah, dan tulisan-tulisan yang telah disusun oleh para ahlinya.

Sejarah telah mencatat, budaya baca dan tulis yang maju pesat pada masa Islam klasik telah menghantarkan umat Islam mencapai zaman keemasannya, sehingga menjadi umat yang memiliki pengetahuan dan peradaban yang paling tinggi pada masanya. Oleh karena itu tidak mustahil fakta sejarah ini menjadi terulang kembali, apabila kedua instrumen di atas menjadi budaya umat Islam dalam mempelajari ayat-ayat Allah, baik  qauliyah maupun kauniyah.

Esensi dan makna penting kegiatan baca dan pena sebagai lambang tulis menulis serta wahyu pertama turunnya al-Qur’an ini telah ditafsirkan oleh Muhammad Asad yang dikutip Abdurrahman Mas’ud yang mengatakan, bahwa pena digunakan sebagai simbol aktivitas menulis atau lebih spesifik simbol semua pengetahuan yang diabadikan melalui jalan penulisan. Hal ini menerangkan ajakan simbolis “bacalah” dalam surat al-‘Alaq ayat 1 dan 3.

Manusia disebutkan dalam al-Qur’an diajari oleh Tuhan sesuatu yang tiada satupun orang tahu, yang tidak mungkin tahu  dengan cara dirinya sendiri, yakni, kemampuan unik manusia untuk menyebarluaskan atau meneruskan tulis menulis, pikiran-pikiran, pengalaman-pengalaman dan wawasan dari satu individu ke individu, generasi ke generasi dan satu komunitas budaya satu pada budaya lain, memberkahi semua manusia yang terlibat aktivitas ini dengan satu cara atau cara lain, dalam akumulasi pengetahuan yang berkesinambungan.

Makna  pertama kata iqra’ yang terdapat pada surat al-‘alaq di atas adalah how to read, yaitu bagaimana cara kita membaca Alquran dengan baik dan benar, serta dapat mengkhatamkannya. Meskipun tidak tahu artinya, tapi dapat pahala. Makna Iqra’ yang kedua adalah how to learn, yang berarti tentang bagaimana mendalami Alquran dengan mengetahui artinya, tafsirnya, bahkan takwilnya. Selanjutnya, makna iqra’ yang ketiga adalah how to understand, yaitu bagaimana kita menghayati kitab Allah tersebut baik secara emosional maupun spiritual. Makna Iqra’ yang keempat atau yang terakhir, yaitu bagaimana memukasyafahkan atau menyingkap tabir-tabir di dalam Alquran. Jika makna membaca itu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari, maka tidak akan ada lagi survey yang menyatakan bahwa Indonesia peringkat 60 dari 61 negara tentang minat baca.

Fakta memang menunjukan bahwa budaya membaca kita masih rendah, hal tersebut tercermin dari, misalnya, realitas penerbitan buku di Indonesia belum ada apa-apanya dibanding Amerika Serikat atau Inggris. Pada pertengahan 1990-an saja masing-masing negara ini dalam sebulan mampu menerbitkan 100.000 dan 61.000 judul, sedangkan negara kita hanya sanggup menerbitkan buku kurang dari 10 ribu judul setiap tahun. Hal inilah salah satunya yang mengindikasikan bahwa minat dan budaya baca bangsa Indonesia masih rendah. Sehingga Sastrawan kondang, Taufik Ismail, melalui observasinya terhadap beberapa siswa SD di kawasan ASEAN, mengatakan bahwa anak-anak Indonesia rabun membaca dan lumpuh menulis. Kenyaatan ini sungguh mengerikan di tengah adanya kekhawatiran para ahli pendidikan tentang terjadinya generasi yang hilang (the loss generation) di negeri kita.

Fakta tersebut didukung dengan berbagai penelitian yang telah dilakukan di Indonesia. Di samping hasil penelitian yang telah disebutkan sebelumnya, International Education Achievement (IEA) melaporkan bahwa kemampuan membaca siswa SD Indonesia berada pada urutan 38 dari 39 negara peserta studi. Menurut Third International Mathematics and Science Study (TIMMS), kemampuan matematika para siswa SLTP kita berada pada urutan 34 dari 38 negara dan kemampuan IPA berada pada urutan 32 dari 38 negara. Berdasarkan Education for All Global Monitoring Report tahun 2005, Indonesia merupakan negara ke-8 dengan populasi buta huruf terbesar didunia, yakni sekitar 18,4 juta orang (Kompas, 20 juni 2006). Terkait dengan masalah membaca, fakta lain adalah laporan tingkat keterbacaan halaman buku di Indonesia yang tidak mencapai satu halaman per hari perorang.

Tradisi membaca harus ditopang dengan sarana dan prasarana yang mendukung. Menurut Aris Hasyim (2009), ada beberapa hal yang harus dibenahi pemerintah untuk membudayakan membaca. Pertama, alangkah baiknya pemerintah meratakan pembangunan perpustakaan yang diintensifkan di pedesaan hinga kepelosok. Di sini pemerintah tidak hanya peduli dengan rakyat kota akan tetapi rakyat pedesaan juga bisa menikmatinya. Sehingga minat membaca akan tumbuh membudaya dan bergairah dengan adanya perpustakaan tersebut. Program itu serasa ada ketimpangan bila tidak diimbangi dengan sosialisasi kepada rakyat langsung. Guna mengugah masyarakat akan pentingnya membaca. Gagasan tersebut sudah terjalankan oleh Harun ar-Rasyid di negeri seribu bulan dengan membangun perpustakaan yang dinamai Baitul Hikmah. Terbukti Harun al-Rasyid mampu menghadirkan kekhalifahan Abassiyah yang menjadi tonggak perdapan dunia paling monumental. Kedua, mentradisikan cinta pada buku. Pemimpin kreatif adalah pemimpin yang selalu membuat otobiografi sebagai bukti kecintaan pada budaya membaca buku. Agenda ini sudah dibuktikan oleh seorang pemimpin dari India yang bernama Jawaharhal Nehru. Semangat membacanya serta semangat mencintai buku sudah menjadi makanan pokok keseharianya. Maka tak heran, India sekarang menjadi penghasil buku terbesar di dunia sekaligus rakyatnya tertular keteladanan dari seorang pemimpin yang setia mencintai buku.

Bagaimanapun bangsa kita dalam hal ini amat ketinggalan jauh dibelakang dari bangsa lain. Mereka dalam segala kesempatannya telah membudayakan diri untuk membaca dan menelaah dalam segala bidang baik itu rumah, di kantor, di sekolah, di mobil, di bis, di tempat rekreasi, di mana saja berada mereka luangkan untuk berusaha membaca. Statistik menyebutkan bahwa budaya membaca di negara-negara maju lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara berkembang.

Oleh karena itu, kita harus berani memulai untuk memotivasikan diri sendiri untuk menyempatkan diri dengan membaca dimana dan kapanpun ketika kesempatan itu ada, kemudian kita ajak keluarga, anak-anak, teman yang ada di sekeliling kita untuk bersama-sama membaca dijadikan pekerjaan di setiap kesempatan. Tentu sebagai ummat Islam yang  harus diprioritaskan adalah al-Quran dan tafsirnya melebihi segalanya, karena membaca al-Quran ganjaran pahalanya adalah besar, setiap hurup mendapat sepuluh kebaikan, dan hurup yang dimaksud bukan Alif Lam Mim itu satu huruf, tapi alif satu huruf, lam, satu huruf, dan mim satu huruf. Di situ, sudah tiga huruf, maka hitungannya sudah 30 kebaikan (pengertian Hadits Nabi saw), kemudian hadist-hadits Nabi saw, dan buku-buku agama khususnya dan buku lainnya sebagaimana menurut disiplin ilmu dan bidang masing-masing.

Menurut Abdurrahman Mas’ud bahwa wahyu pertama Nabi merupakan pembebasan dan pencerdasan umat (liberating and civilizing). Surat Iqra’ merupakan satu seruan pencerahan intelektual yang telah terbukti dalam sejarah mampu mengubah peradaban manusia dari masa kegelapan moral intelektual kepada peradaban tinggi di bawah petunjuk Ilahi. Di sinilah letak  pentingnya sebuah tulisan. Dia netral dan sebagai bagian dari pendekatan budaya dan diyakini sebagai lambang dan wujud dari transfer of knowledge, information, culture and civilization. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ditemukan fakta bahwa bagian dari kitab suci al-Qur’an yang pertama kali turun  ke bumi adalah surat yang bercerita soal penulisan dan al-Qalam. Dengan demikian, maka pesan pertama wahyu al-Qur’an adalah mengajarkan manusia untuk belajar, sehingga dengan belajar ini, manusia dapat memperoleh Ilmu pengetahuan.

Hal ini dipertegas pendapat al-Maraghi, yang mengatakan, bahwa Allah SWT. menjadikan pena ini sebagai sarana berkomunikasi antara sesama manusia, sekalipun letaknya  saling berjauhan. Ia tidak ubahnya lisan yang bicara, qalam adalah benda mati yang tidak bisa memberikan pengertian. Oleh sebab itu, Allah menciptakan benda  mati bisa menjadi alat komunikasi, sehingga tidak ada kesulitan bagi nabi Muhammad saw. bisa membaca dan memberikan penjelasan serta pengajaran, karena jika tidak ada  qalam, maka manusia tidak akan dapat memahami berbagai ilmu pengetahuan.

Semoga dengan peringatan Nuzulul Qur’an ini hendaknya jangan hanya sekedar seremonial belaka, festival peringatn yang selalu diselenggarakan manakala tangga 17 Ramadhan tiba. Akan tetapi mampu memberikan dampak dan perubahan prilaku bagi setiap individu, terutama berkaitan dengan membaca. Nuzulul Qur’an yang mampu membentuk karakter budaya baca yang tinggi sehingga diharapkan minat dan budaya baca Bangsa Indonesia tidak ketinggalan dengan bangsa lain. Semoga.!!

* Penulis adalah Dosen Tetap/ Wakil Dekan I Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah, IAIN Curup.