Jakarta,-Dalam momentum peringatan Hari Bumi 2025, Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A, memimpin langsung Gerakan Tanam Sejuta Pohon yang digelar secara nasional. Kegiatan ini tidak hanya menjadi aksi nyata terhadap isu lingkungan hidup, tetapi juga menjadi bentuk kontribusi spiritual dan ekologis Indonesia kepada dunia, melalui pendekatan nilai-nilai keagamaan dan budaya lokal. Salah satu hal yang menarik perhatian adalah pemilihan pohon matoa khas Papua sebagai simbol dalam gerakan ini.
“Pohon Matoa adalah tanaman khas Papua yang tumbuh dengan cepat, tahan terhadap berbagai cuaca, dan buahnya bisa dinikmati oleh siapa saja. Ini simbol dari Indonesia, simbol dari kesatuan, keragaman, dan kepedulian terhadap alam. Kita ingin menjadikan Matoa sebagai persembahan dari Indonesia untuk dunia,” ujar Menteri Agama RI, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A. 22/04/2025.
Gerakan Tanam Sejuta Pohon yang dilaksanakan serentak dari Sabang sampai Merauke ini menjadi tonggak penting dalam menunjukkan bahwa Indonesia tidak tinggal diam dalam menghadapi krisis iklim global. Indonesia dengan hutan tropisnya yang luas memiliki kapasitas sebagai “paru-paru dunia”. Sayangnya, dalam dua dekade terakhir, kerusakan lingkungan yang ditandai oleh deforestasi, kebakaran hutan, dan eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, turut memperburuk kondisi iklim dunia.
Kementerian Agama, melalui gerakan ini, menunjukkan peran strategisnya dalam menyelaraskan nilai-nilai keagamaan dengan praktik ekologi yang berkelanjutan. Ekologi Islam, sebagai salah satu nilai utama yang diusung, mengajarkan pentingnya menjaga keseimbangan alam sebagai bagian dari tanggung jawab spiritual manusia. Dalam Islam, bumi bukanlah milik mutlak manusia, melainkan amanah dari Sang Pencipta yang harus dijaga dan dilestarikan.
“Semua agama pada dasarnya mengajarkan kita untuk tidak merusak bumi, bahkan menganjurkan kita menjadi penjaga bagi alam. Maka, sangat penting bagi para tokoh agama untuk memberikan keteladanan dalam pelestarian lingkungan,” lanjut Menag.
Pemilihan pohon matoa dalam gerakan ini bukan hanya simbol keberagaman hayati Nusantara, tetapi juga representasi dari perhatian negara terhadap wilayah Indonesia Timur, yang kerap kali terpinggirkan dalam narasi pembangunan nasional. Dengan menjadikan pohon matoa sebagai ikon, Indonesia seolah menyampaikan pesan kepada dunia bahwa solusi krisis iklim tidak hanya datang dari teknologi tinggi atau kebijakan internasional, tetapi juga dari kearifan lokal yang selama ini hidup berdampingan dengan alam.
Kegiatan penanaman pohon juga melibatkan berbagai unsur masyarakat, mulai dari tokoh lintas agama, santri, pelajar, hingga organisasi keagamaan di seluruh penjuru tanah air. Sinergi ini menjadi bukti bahwa pelestarian alam adalah tanggung jawab bersama. Dari Aceh hingga Papua, umat beragama diajak untuk menanam, merawat, dan melestarikan bumi sebagai bentuk ibadah ekologis.
Lebih jauh, gerakan ini menjadi bagian dari diplomasi lingkungan hidup Indonesia. Dengan menanam pohon matoa dan menyebarkannya ke berbagai belahan dunia, Indonesia mengajak negara-negara lain untuk mengenali nilai-nilai ekologis berbasis budaya lokal. Pohon matoa bisa menjadi duta hijau Indonesia, sebagaimana bambu milik Cina atau sakura milik Jepang.
Menteri Agama juga menyampaikan bahwa gerakan ini akan menjadi program berkelanjutan dan tidak berhenti di peringatan Hari Bumi saja. Kemenag berkomitmen menjadikan ekologi sebagai bagian dari kurikulum pendidikan agama, khutbah keagamaan, dan pesan-pesan dakwah di berbagai lini. Dengan demikian, kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan akan tumbuh sejak dini dan menjadi karakter hidup beragama yang menyatu dengan alam.
“Ini bukan sekadar tanam pohon, tapi tanam harapan, tanam kesadaran, dan tanam nilai-nilai spiritual bahwa merawat bumi adalah bagian dari iman,” tegas Menag Nasaruddin Umar.
Di tengah gelombang perubahan iklim global, langkah Kementerian Agama RI ini patut diapresiasi. Dengan pendekatan budaya, agama, dan kearifan lokal seperti matoa, Indonesia menunjukkan bahwa perjuangan melindungi bumi tidak harus datang dari pusat-pusat kekuasaan global, tetapi bisa lahir dari akar-akar spiritualitas Nusantara.