MEMAKNAI HARI KEMERDEKAAN RI KE-79

MEMAKNAI HARI KEMERDEKAAN RI KE-79
Oleh: Dr. Yusefri, S.Ag, M.Ag Wakil Rektor I IAIN Curup.

Agustus merupakan bulan istimewa dan memiliki makna maha penting bagi kita bangsa Indonesia. Itu  karena pada bulan ini, 79 Tahun yang lalu, tepatnya tanggal 17 Agustus 1945  kita bangsa Indonesia memproklamirkan kemerdekaan, bebas dari penjajahan. Bagi kita umat Islam, tentunya berpandangan dan berkeyakinan bahwa, kemerdekaan tersebut merupakan anugrah, nikmat serta berkah dari Allah SWT, yang harus disyukuri. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, secara tegas disebutkan bahwa; “Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Jadi jelas, bahwa kemerdekaan yang hingga saat ini kita rasakan saat ini adalah  Salah satu nikmat dan rahmat yang diberikan Allah yang tidak bisa diukur dengan harta benda.

Dengan adanya kemerdekaan, kita umat Islam Indonesia  bisa beribadah dengan tenang dengan khusyuk tanpa rasa khawatir akan adanya serangan bombardir. Dengan kemerdekaan pula kita bisa bercengkerama dengan keluarga, dengan tenang, nyaman dan bahagia. TIDAK halnya  seperti yang tengah dialami oleh saudara-saudara kita di Palestina. Dengan adanya kemerdekaan bangsa kita bebas menentukan dirinya sendiri, menguasai dan mengelola seluruh kekayaan alam yang dimilikinya untuk kepentingan semua rakyat dan anak bangsa.

Hidup di alam kemerdekaan, sesungguhnya tersimpul makna adanya kebebasan dalam segala hal, baik dalam beragama, berfikir, bertindak, berukumpul, berserikat dan berkreasi. Namun demikian perlu diingat bahwa kebebasan yang dimaksud bukanlah kebebasan tanpa aturan yang mengikat. Kita bebas berfikir, berbicara dan dan berbuat, tapi jangan sampai melanggar aturan, atau jangan sampai merugikan, menyakiti dan menzalimi orang lain.  Dalam ajaran Islam pun, kita sesungguhnya diberi kemerdekaaan dan kebebasan oleh Allah SWT dalam berfikir, berbuat dan memilih. Di atas kemerdekaan dan kebebasan kita dalam berfikir, berbuat dan memilih itu, Allah SWT meminta pertanggung jawaban atas semua yang kita pilih, lakukan, ucapkan.

Indonesia kini telah berumur 79 tahun. Kemerdekaan yang kini  kita rasakan sekarang ini pada hakikatnya hanyalah peralihan dari satu penjajahan kepada berbagai penjajahan lainnya. Betapa tidak, dahulu para pahlawan kita hanyalah menghadapi penjajahan militer. Tetapi sekarang, bangsa Indonesia menghadapi multi penjajahan, dari penjajahan ekonomi, budaya, moral, sampai pemikiran. Bahkan bentuk penjajahan seperti ini lebih besar bahayanya daripada penjajahan militer, karena bahaya yang ditimbulkan jauh lebih komplek dan berdaya rusak tinggi. Bukan fisik yang dirusak, tetapi pola pikir.  Oleh karena itu di hari kemerdekaan Indonesia ke-79 kali ini, menarik untuk kita kembali renungkan, bahwa sebuah kemerdekaan tidak mungkin diraih tanpa adanya kemenangan, kemenangan mustahil didapat tanpa adanya perjuangan, perjuangan tidak akan berarti tanpa adanya kebersamaan dan persaudaraan, persaudaraan yang kuat dan tulus.

Oleh karenanya dalam memaknai kemerdekaan tahun ini, marilah kita kembali memposisikan diri sebagai hamba Allah yang taat dan beradab, bersuka ria tanpa harus lupa dari semangat kemerdekaan hakiki. Sejatinya seorang muslim seharusnya mensyukuri nikmat kemerdekaan bukan sekadar mengenang kemerdekaan.  Hal itu karena mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah, menjadi pembuka pintu nikmat lainnya. Kita sering menginginkan nikmat, padahal rahasia yang bisa mengundang nikmat adalah syukur atas nikmat yang ada:

لئن شكرتم لأزيدنكم

“Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (kenikmatan tersebut) kepada kalian.” (Ibrahim: 7)

 Akhirnya, jika kita ingin merasakan nikmatnya hidup di alam kemerdekaan ini,  aman, nyaman dan dan tentram, mari kita selalu mensyukuri nikmat bukan mengkufuri nikmat, saling membina bukan saling menghina; saling ajak bukan saling mengejek, saling menyejukkan bukan memojokkan, saling mengajar bukan saling menghajar; saling belajar bukan saling  bertengkar; saling menasehati bukan mencaci maki; menghargai perbedaan bukan memonpoli kebenaran; husnu zhann bukan su’uzhan, poisitif thinking bukan negatif thingking.