Oleh: Dr. Yusefri, S.Ag
Wakil Rektor I IAIN Curup Bidang Akademik dan Kelembagaan
Mudik, Puasa Ramadhan, Idul Fitri, tampaknya merupakan satu rangkaian dalam satu gerbong ritual-budaya. Setelah berpuasa selama sebulan di bulan Ramadhan selesai meraka dengan antusias untuk mudik. Mudik, seakan telah menjadi ritus budaya, yang sedemikian mentradisi dalam masyarakat kita. Fenomena mudik berkait-kelindan dengan perayaan Idul Fitri, atau akrab disebut Lebaran. Dari segi ritus budaya, mudik biasanya ditandai dua hal. Pertama, mudik menjadi “kebutuhan primer” tahunan masyarakat masyarakat desa/kampung yang merantau (urban) di kota-kota. Kedua, walaupun memiliki korelasi waktu dengan Idul Fitri yang nota bene ritual Islam, mudik juga melibatkan hampir seluruh lapisan masyarakat, termasuk non-Muslim.
Mudik Dari Sisi Sosio-Historis dan Psikologis
Mudik sebenarnya berasal dari kata UDIK yang artinya adalah desa atau tempat asal. Sehingga mudik maksudnya adalah kembali ke tempat asal, yakni desa atau kampung halaman. Fenomena mudik biasanya terjadi setiap menjelang lebaran, atau libur-libur panjang. Dalam hal ini, pelaku mudik pada umumnya adalah orang-orang desa (kampung) yang selama ini melakukan urban atau perantauan ke kota-kota untuk “mengais rezeki.”
Mudik, yang berarti balik pulang ke desa (kampung halaman), memang akan membawa setiap pelakunya pada kondisi lepas dan terbebas dari kerinduan yang membuncah. Saat bertemu dengan orang tua, saudara, keluarga, atau orang-orang terdekat yang kita cintai tentu merupakan sebuah kebahagiaan yang sungguh sangat mengharukan. Tak jarang tetes air mata pun mewarnai momen-momen yang jarang terjadi tersebut. Walhasil, mereka akan merasakan kesegaran dan semangat baru untuk menjalani hidup dan kehidupan ke depan.
Menurut suatu riwayat, orang pulang kampung pada momen tertentu konon sudah menjadi kebiasaan sebelum datangnya Islam di tanah Jawa.Tradisi mudik dijadikan sebagai wahana klangenan atau “jembatan nostalgia” dengan masa lalu. Pemudik yang rata-rata berasal dari desa, diajak bercengkerama dengan romantisme alam pedesaan, yang di dalam konsep antropologi dikenal dengan sebutan close coorporate community. Pemudik merindukan nilai-nilai kebersamaan alamiah yang jarang lagi mereka temui di kota, karena ketatnya persaingan memburu “status”. Hal ini bisa dimaklumi, karena selama masa perantauannya, masyarakat urban “dipaksakan” menerima dan menjalankan tatanan sosial yang sebenarnya bertentangan dengan “kodratnya.” Hubungan sosial di perkotaan (tempat mereka mengais rejeki), berbeda 180 derajat dengan solidaritas sosial yang dibangun di pedesaan, yang lebih menekankan ikatan emosional, moralitas dan kekerabatan. Solidaritas ala masyarakat perkotaan lebih didasarkan pada hubungan pekerjaan dan kepentingan (vested interest), terutama kepentingan ekonomi. Di sinilah ada benang merah yang dapat ditarik, mengapa keinginan pemudik untuk mengenang “sejarah” dirinya barang sejenak selalu dilakukan beriringan dengan perayaan Idul Fitri. “…. kalau tidak pulang rasanya ada suasana Lebaran di kampung yang hilang dan gantinya tidak bisa ditemukan di Jakarta,” demikian kata diantara para pengemudi di Jakarta.
Nilai Spritulitas dan Religius Mudik
Sudah menjadi tradisi, setiap Lebaran Idul Fitri tiba, jutaan orang mudik dari kota, di mana mereka bekerja atau tinggal, seperti Jakarta menuju ke tanah kelahirannya, yaitu desa. Mereka rela antri berjam-jam untuk mendapatkan tiket bus atau kereta, atau bahkan menyewa mobil. Berdesak-desakkan di dalam angkutan umum, berpanas-panasan di atas sepeda motor dan macet berjam-jam di jalanan merupakan kejadian yang selalu terjadi di setiap Lebaran. Bagi mereka, kerepotan, penderitaan dan kesulitan yang dihadapi selama dalam perjalanan pulang kampung tidak dianggap ada setelah mereka bertemu dengan anggota keluarganya. Dalam kenyataannya, perjalanan panjang selama mudik sering menjadi cerita yang menarik untuk diceritakan kepada keluarga. Mengapa mudik tidak tergantikan oleh teknologi modern? Bukankah zaman sekarang kemajuan telekomunikasi seperti telepon, dan hand phon dapat digunakan setiap saat?
Muncul kuatnya keinginan untuk mudik, sebenarnya karena adanya kerinduan ingin kembali ke tempat asal. Ini sesungguhnya gambaran dari fitrah manusia yang merindukan akan asalnya, yaitu Allah Yang Maha Suci. Dalam konteks ini, Idul Fitri sebagai push factor mudik, sebenarnya memiliki titik temu dengan mudik. Praktis sebelas bulan lamanya manusia disibukkan dengan segala aktivitas yang bisa memalingkan dirinya dari Allah atau potensi keilahian.(Q.s al-A’raf:172). Puasa di bulan Ramadhan merupakan upaya memudikkan fitrah manusia pada jalur awalnya, yaitu kesucian diri.
Melalui Puasa Ramadhan dan Idul Fitri, manusia dituntut mampu melakukan pemaknaan kembali terhadap fitrah kemanusiannya. Jika dalam paradigma modernisme, keber-maknaan dilihat dari ukuran material, maka dengan Idul Fitri kebermaknaan manusia diukur dari seberapa dalam kemampuannya dalam mentransedensikan dirinya melalui olah rohani serta kemampuannya merajut jalinan kasih (silaturrahmi) dengan sesama manusia. Dengan demikian, dari sudut pandang Islam, orang-orang yang rela berdesak-desakan untuk memperoleh tiket kendaraan untuk mudik memperoleh justifikasi kemuliaan dalam rangka membangun silaturahmi.
Rasulullah Nabi Muhammad SAW mengajarkan, sesama orang Islam diharamkan tidak bertegur sapa selama tiga hari. Anjurannya dalam tempo waktu itu harus memperbaiki silaturahmi dengan saling memaafkan.Umumnya sikap saling memaafkan yang paling afdhal dilangsungkan dengan tasamuh, temu muka, antara dua pihak yang berselisih paham atau konflik. Dalam konteks mudik bisa dikonotasikan sebagai momentum merajut kembali hati yang luka sesama saudara, kerabat, teman lama yang lama tidak bertemu. Barangkali selama berpisah bisa saja terjadi selisih paham, miscommunication, pergunjingan atau menggosipkan tanpa didasari alasan akurat. Jadi mudik juga bisa menjadi semacam terapi yang menguatkan hubungan kekeluargaan. Dalam aspek spiritual, mudik akan membangkitkan kesegaran dan tenaga baru bila mereka kembali bekerja di kota.
Akhirnya juga, mudik sebagai sebuah tradisi sosial yang memiliki dimensi fisik dan emosional, dan sudah sering dilakukan, semestinya pula mulai diikuti dengan menyelami mudik secara hakiki yang berkaitan dengan dimensi spiritual; memudikkan hati dan jiwa kita kepada sang Maha Pencipta. Dengan melakukan mudik seperti itu, kita akan mendapatkan kesegaran jiwa dalam balutan fitrah yang tanpa noda. Orang yang melaksanakan ibadah haji merupakan salah satu gambaran mudik secara spitritual, yang juga sekaligus melibatkan aspek fisik dan emosional. Dalam prosesi itu, orang yang bersungguh-sungguh menjalaninya akan merasakan kedekatan dengan sumber kerinduan yang selama ini telah diaktualisasikan dalam skala yang lebih kecil yang berkaitan dengan orang-orang terdekat yang kita cintai. Adapun di skala yang lebih besar, kerinduan itu berkaitan dengan kerinduan kepada Sang Pencipta. Tak heran, setiap orang yang sudah mengunjungi Baitullah, baik dalam ibadah haji atau umroh, akan tetap merasakan kerinduan untuk kembali lagi ke sana. Wallahu ‘alam bi showab
Learn more