homescontents
homescontents

Idul Fitri Mudik Spiritual Menuju Fitrah Kemanusiaan

Idul Fitri Mudik Spiritual Menuju Fitrah Kemanusiaan

Oleh: Dr. Yusefri, S.Ag, M.Ag

Wakil Rektor I IAIN Curup Bidang Akademik dan Kelembagaan

Perayaan tahunan Idul Fitri telah menghadirkan budaya dan tradisi mudik, arus balik dan arus mudik  dengan segala fenomena yang melingkupinya. Menurut Saya, Peringatan Idul  Fitri disamping menghadirkan Fenomena Mudik Kultural, juga sekaligus menghadirkan apa yang Saya sebut Mudik Spiritual. Mudik Spiritual hanya istilah lain dari Idul Fitri.  Maaf kata untuk yang tidak sepaham dengan istilah mudik spiritual. Secara harfiah Idul Fitri berarti kembali kepada fitrah, yaitu kembalinya manusia menuju kepada fitrah kemanusiaan yang secara asali tak berdosa, bersih dari dosa-dosa.

Idul Fitri, Mudik Spiritual dalam konteks ini bisa dikatakan sebagai puncak-puncak spiritual pencapaian manusia dalam menapaki tangga-tangga menuju muttaqien, menjadi manusia merdeka, manusia yang menang, meraih kemenangan setelah bertempur dan berjihad  melawan hawa nafsu yang dijalaninya melalui Ibadah Puasa Ramadhan selama sebulan penuh. Dengan demikian, Idul Fitri, mudik spiritual dalam makna yang demikian itu tidak berlaku bagi orang yang tidak melaksanakan puasa Ramadhan.

Ini memang eksklusif dalam tradisi dan ajaran agama Islam yang mengaitkan secara tidak terpisah hubungan timbal balik antara Puasa Ramadhan dengan Idul Fitri.  Puncak puasa Ramadhan adalah Idul Fitri, tercapainya kembali kondisi fitrah kemanusiaan. Sekembalinya manusia pada posisi dan kondisi fitrah meniscayakan hilangnya pola-pola dan cara-cara destruktif seperti kekerasan.

Kondisi fitrah-bersih diri mengajari kita akan etika berperikehidupan yang manusiawi, untuk membedakannya dengan perikehidupan hewani, yang destruktif, dekaden dan amoral. Kondisi Fitrah juga mengajari kembali kepada kita akan pandangan dunia word view tauhid yang memiliki implikasi kesatuan keterciptaan, kemanusiaan, keumatan, tindakan dan tujuan kehidupan. Pola-pola pemecahbelahan keumatan, di hadapan pandangan dunia tauhid, terbukti hanya akan menjauhkan umat dari kesadaran akan pentingnya transformasi nilai-nilai sosial Islam.

Dalam puasa pula, ditekankan sejauh mana seseorang mampu menapaki tangga-tangga pembersihan diri menuju fitrah sebagaimana dijanjikan oleh bulan Ramadhan, yaitu tangga-tangga dan fase ramadhan rahmah, maghfirah dan itqun min Al-Nar. Dengan demikian, berpuasa sebulan penuh pun sebenarnya belum merupakan jaminan bahwa seseorang berhasil memasuki kembali (arti harfiah dari Id) garis finish lambang kemenangan dan keberhasilan menjaga kondisi fitrahnya sehingga seseorang berhak menyandang sebagai muttaqien –orang yang bertakwa sebagai tujuan puasa Ramadhan.

Fitrah yang merupakan kodrat manusia semenjak lahir menggambarkan keadaan suci-asali manusia yang secara ruhani berkecukupan (contentment) dan selalu ada dalam kesadaran berketuhanan (Gods Consciousnes). Kondisi Fitrah adalah keadaan manusia di mana dirinya sepenuh hati berada dalam kesadaran bahwa Tuhan selalu hadir dalam dirinya, dan bahwa kemana pun engkau menghadapkan wajah, di situ ada wajah Tuhan (Rahman, 1994).

Dengan demikian, hanya jika manusia berada dalam kesadaran berke-Tuhan-anlah keadaan fitrahnya dapat ia raih, pahami dan rasakan. Hal itu bisa kita pahami dan rasakan terutama ketika berada dalam kesendirian, atau ketika berada di segenap segmen kehidupan dan di “jalan-jalan” yang menuju ke arah pembumian etika dan tindakan Kebaikan.

Ketika pikiran kita mulai tenang, ketika bisa mengatasi diri dari kesibukkan adi-duniawi dan hingar bingar nuansa materialisme, akan terdengar suara nurani yang mengajak kita untuk berdialog, mendekat bahkan menyatu dengan suatu totalitas wujud Yang Maha Hadir (The Omnipresent), yaitu Tuhan. Kesadaran yang demikian itu akan mengantarkan kita pada usaha untuk menyadari ebih lanjut betapa lemahnya kita sebagai manusia di hadapan-Nya, dan betapa ekuasaan dan keperkasaan-Nya yang melintasi ruang dan waktu.

Suara yang terdengar tu adalah suara fitrah kemanusiaan; suara kesucian-kemanusiaan. Suara itulah yang dikumandangkan pada setiap saat diri kita menghadap keharibaan-Nya, dan suara-suara Allahu Akbar, La Ilaha Illallah, Allahu Akbar, Walillahi Alhamd, Takbir yang dikumandangankan saat perayaan Idul Fitri. Tak cukup hanya Mudik Kultural, kita juga perlu Mudik Spiritual

tu memperhatikan dan menyesuaikan diri dengan hukum-hukum alam yang ditetaPepatah Tionghoa mengatakan: “Sejauh-jauh burung terbang, akhirnya akan kembali ke sarangnya”. Hal ini terasakan sekali pada saat menjelang hari raya Idulfitri (Lebaran), dimana banyak sekali orang kejangkitan penyakit “Rindu Mudik”. Rindu Mudik ini bukan hanya dirasakan oleh umat Muslim saja melainkan oleh hampir semua orang Indonesia yang berada dirantau, entah ia berada di New York, Amsterdam, Hongkong maupun di Jakarta. Rasa rindu yang dirasakan oleh mereka yang tinggal di Hong Kong maupun di Jakarta sama yang beda hanya jaraknya saja.

Pada saat kita rindu mudik, kita teringat akan kampung halaman dan orang-orang yang kita kasihi, hal ini membuat kita jadi sedih dan sakit, oleh sebab itulah dalam bahasa Spanyol rindu mudik ini disebut “el mal de corazón” = sakit hati. Kita teringat akan kampung halaman, orang tua, masa-masa yang indah diwaktu kecil. Pada saat kita masih kecil, mungkin kita harus hidup dengan segala keterbatasan, tetapi kalau saya jujur itu, bagi saya masa tersebut adalah masa yang paling indah di dalam kehidupan saya. Ingatan saya ketika masa tersebut adalah: “Woouooo…w…..fantastic. it’s wonderfull, if we wanna to remember our childhood !”

Mungkin anda masih ingat ketika masa sekolah di sekolah SD, SMP, nonton bioskop, mancing ikan, bermain diwaktu hujan turun. Memang kalau dibandingkan dengan permainan anak-anak jaman sekarang, ini tidak ada apa-apanya, tetapi bagi saya ini masa tersebut mempunyai nilai yang sangat indah dan tak terlupakan.

Jadi rindu mudik tersebut bisa disamakan juga dengan rindu akan masa lampau – Notstalgia. Kata Notstalgia itu diserap dari dua kata dalam bahasa Yunani “Notos” = kembali kerumah dan “algos” = sakit/rindu.

Rindu mudik atau rindu akan kampung halaman dalam bahasa Inggris disebut Homesick sedangkan dalam bahasa Jerman “Heimweh” . Weh = sakit, Heim = rumah, Heimat = tanah air. Kata Heim itu sendiri diserap dari bahasa Jerman kuno Heimoti = Surga.

Kata Mudik diserap dari kata “Udik” yang berarti desa atau jauh dari kota alias di udik. Mudik berarti kembali ke udik, ke asal usul kita oleh sebab itu entah anda tinggal dirumah mewah yang bernilai ratusan milyar Rp ataupun bermukim di Amsterdam ataupun Hollywood sekalipun, ini tidak akan bisa menggantikan suasana seperti rumah di kampung halaman sendiri, walaupun itu di udik sekalipun juga. Jadi tepatlah pada saat kita sedang rindu mudik, kampung halaman itu bagi kita sama seperti juga “surga”. Pada saat tersebut saya merasa iri terhadap mereka yang bisa pulang mudik ke kampung halamannya.

Di Eropa, penyakit rindu mudik ini lebih dikenal dengan sebutan “penyakit orang Swiss”. Masalahnya sejak abad ke 15 banyak sekali pemuda dari Swiss yang bekerja sebagai tentara bayaran di Italy, Perancis, Jerman maupun Belanda. Mereka itu adalah serdadu bayaran yang pertama, oleh sebab itu juga s/d saat ini di Vatikan masih tetap mengerjakan para serdadu Swiss.

Kelemahan dari para serdadu Swiss itu mereka sering rindu mudik. Hal ini membuat banyak serdadu tersebut yang sering minggat maupun bunuh diri. Maka dari itu pada abad ke 18 di Perancis orang akan dihukum mati apabila berani menyanyikan atau bersiul lagu kampungnya orang Swiss “Kuhreihen” (Ranz de Vaches), mereka takut para serdadu bayaran mereka minggat. Apakah efeknya sama; seperti kalau orang Jawa mendengar lagu “Benggawan Solo”? Maka dari itu juga banyak orang Indonesia dirantau senang mendengar lagu musik Keroncong untuk mengurangi rasa rindu mudik.

Kenapa orang Jawa lebih sering rindu mudik ? Mungkin karena dalam bahasa Jawa kata “dalem” berarti “saya” dan kata “dalem” itu juga identis dengan “tempat tinggal”.

Mungkin anda bisa merasakan kehidupan yang jauh lebih nyaman dan lebih berlimpah ruah di tanah orang, tetapi materi tidak akan bisa menggantikan maupun mengisi kekosongan maupun kesepian diri dan batin kita. Semakin lama anda berada ditanah orang semakin terasakan kekosongan jiwa kita, sama seperti juga HP yang kehabisan batterie.

Hari Raya Idul Fitri telah menjadi suatu momen mudik nasional bagi sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia. Cukup unik memang, karena hal itu tidak terjadi di negara-negara mana pun di dunia, bahkan di negara-negara yang berlabel Islam sekalipun.
Hari Raya Idul Fitri telah menjadi suatu momen mudik nasional bagi sebagian besar masyarakat muslim di Indonesia. Cukup unik memang, karena hal itu tidak terjadi di negara-negara mana pun di dunia, bahkan di negara-negara yang berlabel Islam sekalipun. Bagi mereka yang biasa melaksanakan mudik, rasanya akan ada sesuatu yang hilang atau mengganjal dalam hati dan perasaan apabila tidak melakukan mudik di hari Lebaran.

Mudik, sebagai sebuah tradisi sosial yang beririsan dengan momen ritual keagamaan, ternyata juga menjadi suatu hal yang melibatkan aspek-aspek multidimensional kehidupan kemasyarakatan dan bahkan pemerintahan. Lihat saja, bagaimana pemerintah sibuk dan seriusnya mengurusi masalah transportasi ketika momen ‘hajatan’ nasional itu tiba. Belum lagi, aparat keamanan yang juga turut terlibat dan bertanggung jawab di dalamnya. Para pedagang dan masyarakat umum di sepanjang jalur mudik juga tak kalah ikut berpartisipasi dalam prosesi budaya yang berlangsung secara massal dan alami ini.

Mudik sebagai sebuah tradisi sosial yang berkaitan dengan dimensi fisik dan emosional memang sudah sering kita lakukan. Namun semestinya pula kita mulai menyelami mudik secara hakiki yang berkaitan dengan dimensi spiritual; memudikkan hati dan jiwa kita kepada sang Maha Pencipta. Dengan melakukan mudik seperti itu, kita akan mendapatkan kesegaran jiwa dalam balutan fitrah yang tanpa noda.

Orang yang melaksanakan ibadah haji merupakan salah satu gambaran mudik secara spitritual, yang juga sekaligus melibatkan aspek fisik dan emosional. Dalam prosesi itu, orang yang bersungguh-sungguh menjalaninya akan merasakan kedekatan dengan sumber kerinduan yang selama ini telah diaktualisasikan dalam skala yang lebih kecil yang berkaitan dengan orang-orang terdekat yang kita cintai. Adapun di skala yang lebih besar, kerinduan itu berkaitan dengan kerinduan kepada Sang Pencipta. Tak heran, setiap orang yang sudah mengunjungi Baitullah, baik dalam ibadah haji atau umroh, akan tetap merasakan kerinduan untuk kembali lagi ke sana.

Mudik biasa dimaknai sebagai proses kembalinya masyarakat urban, perantau ke kampung halaman. Mudik sinonim dengan pulang ke udik yang bisa bermakna asal daerah. Dan tradisi mudik menjelang perayaan Idul Fitri ini sudah menjadi kultur atau budaya sehingga saya memahaminya sebagai mudik kultural. Mudik sebagai fenomena kultural unik adanya dan mungkin hanya satu-satunya di penjuru dunia. Fenomena mudik telah menyita banyak perhatian dari seluruh kalangan; pemerintah, ekonom, sosiolog, hingga aparat kepolisian sehingga harus mengawal arus mudik dan arus balik dari komunitas pemudik pengguna sepeda motor.

Saya yakini bahwa motivasi mudik bukan semata-mata karena momentum perayaan Idul Fitri. Hari Raya Idul Fitri saya katakan hanya sebagai media yang memungkinkan proses mudik terjadi. Karena pulang ke kampung halaman di luar Idul Fitri, meski banyak ditempuh oleh komunitas perantau, kurang lazim disebut mudik, bukan? Ya. Inilah letak keunikan kultur atau budaya mudik.

Motivasi lain yang paling mengetahui adalah komunitas pemudik itu sendiri. Tapi, itu bisa diraba tentunya. Motivasi mudik bisa tergambar dalam upaya kembali ke tanah kelahiran setelah sekian lama ada di perantauan. Sub motivasinya; merayakan Idul Fitri di kampung halaman, menjalin tali silaturrahmi yang selama ini terputus karena kesibukan pekerjaan

Ada ungkapan hilir-mudik. Ada industri hilir, tapi tidak ada industri mudik. Kalupun ada, mungkin industri hulu, yang menurut saya sinonim dengan industri udik. Hilir-Mudik menggambarkan sebuah kesinambungan aktifitas yang tidak terputus, kontinyu. Ada saat berada di hilir, ada saat berada di udik. Jika hilir diasumsikan sebagai pusat aktifitas, maka udik bisa juga diasumsikan sebagai tempat peristirahatan dari seluruh aktifitas. Ya, dan ini menemukan momentumnya pada saat Idul Fitri.

Saat dan selama mudik, kembali ke udik, adalah saat di mana aktifitas rutin pekerjaan diistirahatkan barang sejenak, untuk kemudian, pada saatnya, harus balik lagi lagi ke hilir pusat aktifitas dan pekerjaan. Dari sini kita mengenal; ada arus mudik dan arus balik. Menggunakan kata arus yang identik dengan aliran sungai (dari hulu ke hilir) lagi-lagi menandakan adanya aktifitas yang kontinyu. Bagi saya, penggunaan kata arus dalam konteks arus mudik dan arus balik tidak lain menggambarkan deras-nya prosesi mudik dan prosesi balik.

Bagaimana tidak, arus mudik hampir pasti diwarnai dengan berjubelnya penumpang Kereta Api, Pesawat Terbang, Kapal Laut, Bus hingga kemacetan lalau lintas di jalan raya karena berjejalnya mobil pribadi pemudik atau mobil yang disewa sebatas untuk mudik. Demikian juga halnya dengan arus balik yang hampir dapat dipastikan diikuti oleh pertambahan jumlah arus balik; yaitu calon perantau-perantau baru yang idealnya ingin mencari pekerjaan di kota-kota besar, seperti Bandung, Surabaya, Jakarta dan kota-kota lain di sekitarnya.

Rangkaian seperti itulah yang telah membuat Mudik Idul Fitri sebagai sebuah kultur yang fenomenal dalam kehidupan bangsa Indonesia. Dan kultur mudik, arus mudik dan arus balik, akan tetap menjadi fenomena di masa yang akan datang. Setidaknya, selagi Idul Fitri dirayakan oleh bangsa kita. Mengapa oleh bangsa kita? Ya, fakta di lapangan menunjukkan bahwa Idul Fitri tidak lagi dirayakan eksklusif oleh Umat Islam Indonesia. Non-muslim pun ikut “merayakan” Idul Fitri, setidaknya ada dalam wilayah merayakan secara kultural melalui fenomena mudik, arus mudik dan arus balik.

Pada ketiganya –mudik, arus mudik dan arus balik, saya yakini tidak sedikit selain umat Islam yang ada di dalamnya. Kalaupun tidak demikian, mereka –selain umat Islam –ada dalam kerangka “merayakan” Cuti atau Liburan Idul Fitri: sebuah sisi lain dari Idul Fitri sebagai bagian dari Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin.

Jika ada mudik kultural yang bisa dan biasa dirayakan oleh sebagian bangsa Indonesia, saya mempunyai opini lain tentang Mudik Spiritual. Bisa dikatakan sebagai sambungan dari posting ini. Artikel tentang Mudik Spiritual sedang saya persiapkan.

Mudik adalah kegiatan perantau/ pekerja migran untuk kembali ke kampung halamannya. Mudik di Indonesia identik dengan tradisi tahunan yang terjadi menjelang hari raya besar keagamaan misalnya menjelang Lebaran. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul dengan sanak saudara yang tersebar di perantauan, selain tentunya juga sowan dengan orang tua. Tradisi mudik hanya ada di Indonesia.[rujuka
For more information click here

Our Best Partners: lucky jet analogues moon princess trinity luotettavat nettikasinot mines de graça nyt online casino fishin frenzy slot game free lucky jet predictor kasino ilman trustlya mga pikakasinot virolaiset kasinot
  • Toto Slot
  • Situs Toto
  • Toto Slot
  • Slot Gacor 4d
  • Toto Slot
  • Situs Toto
  • Cantiktoto
  • Sakuratoto2
  • Sakuratoto3
  • Totokita
  • Totokita2
  • Toto Slot
  • Toto Slot
  • Toto Slot
  • Totokita3
  • Totokita3
  • Pay4d
  • Totoagung
  • Totoagung2
  • indoharian
  • republikpkk
  • pakettour
  • theapexherald
  • onlinepaperwriter
  • iklantemanggung
  • knoydart-foundation
  • tipswheel
  • thecoopmarketing
  • istanaxplaygaming
  • istanaxplay-gaming
  • shokosugi
  • Amintoto
  • Toto Macau
  • Situs Toto
  • Restoslot4d
  • Slot Gacor 4d
  • Slot Gacor
  • Restoslot4d
  • Slot Gacor 4d
  • Slot Gacor 4d
  • Qdal88
  • Slot Thailand
  • Sbobet
  • Sakuratoto
  • Situs Toto
  • Sbobet
  • Sakuratoto