Rhoni Rodin, S.Pd.I.,M.Hum
Dosen Tetap FUAD, Wakil Dekan I, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah
IAIN Curup
Mungkin banyak diantara kita yang belum mengetahui bahwa setiap tanggal 2 April telah dicanangkan sebagai hari Buku Anak Sedunia. Pencanangan ini bukan hanya sekedar seremonial belaka, akan tetapi hendaknya memberi pengaruh terhadap perkembangan buku dan minat baca anak terhadap buku, terlebih lagi di era gadget sekarang ini. Keberadaannya telah mengalihkan perhatian anak terhadap buku. Anak-anak lebih suka bermain game di gadget berjam-jam sampai lupa waktu. Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan bagi kita semua.
Yuliani Nurani Sujiono (2005) menyatakan bahwa usia anak-anak merupakan satu modal dasar yang sangat berharga dan menghasilkan manusia yang berkualitas, pada usia itu anak berada pada posisi keemasan (golden age). Anak usia emas merupakan masa-masa peka, anak memiliki kepekaan yang tinggi. Usia emas merupakan masa peka dimana muncul berbagai potensi tersembunyi atau suatu kondisi dimana suatu fungsi jiwa membutuhkan rangsangan tertentu untuk berkembang. Pada masa ini hampir seluruh potensi anak mengalami masa peka untuk tumbuh dan berkembang secara tepat sesuai dengan tahap perkembangan usia anak. Tahap perkembangan ini hanya berlangsung sekali dalam kehidupannya, sehingga akan berdampak pada penumpukan tugas perkembangan anak yang tidak mungkin diulangi pada tahap-tahap perkembangan selanjutnya. Oleh karena itu, anak-anak sejak dini dibekali pendidikan yang berlandaskan konsep-konsep agama sebagai pondasi agar menjadi manusia yang mampu mengembangkan seluruh potensi dirinya sendiri dengan baik. Anak pada usia itu membutuhkan rangsangan, dorongan atau motivasi, agar anak mempercepat perkembangannya baik aspek perkembangan pada umumnya atau aspek perkembangan bahasa.
Lebih lanjut Slamet Rahardjo (2006) pun menjelaskan bahwa masa kanak-kanak merupakan masa yang sangat fundamental bagi perkembangan anak, masa yang penuh dengan kejadian-kejadian penting yang unik dan menjadi dasar bagi kehidupan seseorang dimasa dewasa merupakan masa peka terhadap keteraturan lingkungan dan mengeksplorasi lingkungan. Pada masa kanak-kanak sudah mulai peka terhadap aspek-aspek sosial kehidupan dan sudah mulai berinisiatif maupun berkreatif dengan cara anak serba ingin tahu dan selalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan apa yang dilihat, didengar dan dirasakan yang ada hubungannya dengan indrawi anak.
Sehubungan dengan hal ini Ali Nugraha, dkk (2006) mengemukakan bahwa usia 5-6 tahun merupakan masa peka bagi anak. Anak mulai sensitif untuk menerima berbagai upaya pengembangan seluruh potensi anak. Masa peka adalah masa terjadinya pematangan fungsi-fungsi fisik dan psikis yang siap merespon stimulus yang diberikan oleh lingkungan. Masa ini merupakan masa untuk meletakkan dasar pertama dalam mengembangkan kemampuan fisik, kognitif, bahasa, sosial emosional, konsep diri, displin, kemandirian, seni, moral, dan nilai-nilai agama.
Menumbuhkan Minat Baca Anak
Anak-anak zaman sekarang banyak mempelajari kata-kata dan simbol-simbol cetak sejak dini. Mereka tertarik untuk mengerti dan memahami arti simbol-simbol tersebut. Program anak usia dini harus bisa mempengaruhi kemauan anak untuk membaca, dengan jalan merencanakan secara hati-hati sebuah kurikulum seni bahasa yang komprehensif. Program ini berfungsi untuk memperluas pengalaman pembelajaran bahasa anak-anak tersebut baik secara oral atau tertulis. Pendidik harus memberikan banyak pengalaman dengan jalan memberikan kata-kata tertulis.
Mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (sekaligus Gubernur DKI Jakarta 2017-2022), Anies Baswedan menyatakan bahwa kondisi minat baca bangsa Indonesia memang cukup memprihatinkan. Berdasarkan studi “Most Littered Nation In the World” yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Padahal, dari segi penilaian infrastuktur untuk mendukung membaca peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa.
Kenyataan itu, menurut Anies, menunjukkan Indonesia masih sangat minim memanfaatkan infrastruktur. Jadi, menurut dia, indikator sukses tumbuhnya minat membaca tak selalu dilihat dari berapa banyak perpustakaan, buku dan mobil perpustakaan keliling. Lebih lanjut, penggagas gerakan ‘Indonesia Mengajar’ itu menilai agar membaca bisa menjadi budaya perlu beberapa tahapan. Pertama mengajarkan anak membaca, lalu membiasakan anak membaca hingga menjadi karakter, setelah itu barulah menjadi budaya.
Minat dan Motivasi Membaca
Minat baca sangat dipengaruhi oleh motivasi. Keduanya bagai dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan. Rendahnya minat baca berarti rendahnya motivasi anak untuk membaca. Motivasi tersebut dapat berupa motivasi intrinsik maupun motivasi ekstriksik. Berdasarkan pengalaman dan pengamatan penulis selama bertahun-tahun, penulis mengidentifikasikan beberapa hal yang secara dominan berpengaruh terhadap rendahnya minat baca siswa.
Pertama, membaca belum menjadi kebutuhan. Kegiatan membaca rupanya belum menjadi kebutuhan bagi siswa. Mereka beranggapan tanpa membaca pun meraka tidak mengalami kendala yang berarti. Keadaan ini dipengaruhi oleh kenyataan hidup sehari-hari bahwa mereka jarang dihadapkan pada keharusan membaca untuk mengatasi suatu masalah.
Kedua, Pengaruh media elektronik. Derasnya arus globalisasi informasi melalui media masa elektronik juga andil terhadap rendahnya minat baca siswa. Anak tidak harus membaca untuk memperoleh informasi yang diinginkan. Dengan menyetel televisi anak dengan mudah memperoleh informasi menarik yang disuguhkan. Bahkan mereka dengan leluasa bisa memilih informasi apa saja yang diinginkan.
Ketiga, ketersediaan bahan bacaan di sekolah atau madrasah. Minimnnya bacaan yang ada di sekolah/ madrasah baik dari segi jumlah maupun mutu sangat berpengaruh terhadap minat baca siswa. Hampir di setiap sekolah, apalagi sekolah di bawah binaan Kementerian Agama kondisinya sangat memprihatinkan. Perpustakaan sekolah hanya penuh dengan buku-buku paket, yang menumpuk dari tahun ke tahun. Tapi buku-buku yang menjadi minat siswa justru tidak tersedia. Novel-novel remaja, majalah-majalah remaja, atau bacaan-bacaan pengetahuan populer justru hampir tidak tersedia. Padahal, siswa yang masih dalam usia remaja sangat membutuhkan bacaan-bacaan yang sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Keempat, kurangnya keteladanan membaca dari guru. Adalah suatu hal yang ironis, bila guru senantiasa menuntut siswa-siswinya untuk rajin membaca, sementara beliau sendiri tidak rajin membaca. Keteladanan guru dalam kegemaran membaca sangat besar pengaruhnya terhadap kebiasaan membaca siswa. Apalagi di sekolah dasar, guru benar-benar menjadi figur sentral. Kebiasaan membaca guru akan sangat mempengaruhi minat baca siswa.
Kelima, budaya membaca dalam keluarga belum tumbuh. Kondisi ini biasanya dilatarbelakangi oleh sebagian besar siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu. Rata-rata pekerjaan orang tua mereka mempunyai pekerjaan bertani dan buruh. Kesadaran untuk membeli buku atau berlangganan koran belum ada. Jangankan untuk berlangganan koran, untuk kebutuhan hidup sehari-hari saja cukup susah. Sehingga bagi mereka, buku bacaan atau berlanggganan koran adalah suatu hal yang elite. Hal ini berdampak pada kebiasaan membaca di kalangan mereka belum kuat.
Semoga momentum peringatan hari Buku Anak Sedunia ini bisa memantik semangat kita para orang tua, guru, para pengambil kebijakan, dan pemerhati minat baca untuk berupaya lebih giat lagi dalam rangka meningkatkan minat baca anak-anak kita. Kita harus berupaya bagaimana caranya agar anak lebih gemar membaca buku dan mencintai buku ketimbang gadget. Semoga.!!!
*)Penulis adalah Dosen Tetap IAIN Curup, Wakil Dekan I FUAD IAIN Curup.
Learn more